Jumat, 06 Juni 2014

Bukti Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia



BUKTI PENINGGALAN KERAJAAN KERAJAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA
1.  Kerajaan Kutai
a.  Prasasti  Mulawarman/Yupa                    













Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.
Isi
Isinya menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman disebutkan sebagai cucu dari Kudungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan yang beragama Hindu di Indonesia. Nama Kutai umumnya digunakan sebagai nama kerajaan ini meskipun tidak disebutkan dalam prasasti, sebab prasasti ditemukan di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam.

2.  Kerajaan Tarumanegara
a.  Prasasti Ciaruteun





                         






Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
  1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
  2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat
Isi
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari tiga baris dan pada bagian bawah tulisan terdapat pahatan gambar umbi dan sulur-suluran (pilin), sepasang telapak kaki dan laba-laba.
Teks:
vikkrantasyavanipat eh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
             visnoriva padadvayam
Terjemahan:
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawamman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat yang gagah dan berani.





b.  Prasasti Kebon Kopi





                                                                                                                                
    Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Kampung Muara Hilir ,Kecamatan Cibungbulang , Bogor. Pada prasasti ini ada pahatan gambar tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah airwata (gajah kendaraan Dewa wisnu).Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.
Teks:
~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~
Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam
Terjemahan:
“Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki…yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”

c.   Prasasti Jambu






Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.
Isi : Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Sragdhara. Pada batu prasasti ini juga terdapat pahatan gambar sepasang telapak kaki yang digoreskan pada bagian atas tulisan tetapi sebagian amvar telapak kaki kiri telah hilang karena batu bagian ini pecah.Prasasti ini menyebutkan nama raja Purnnawarmman yang memerintah di negara Taruma. Prasasti ini tanpa angka tahun dan berdasarkan bentuk aksara Pallava yang dipahatkannya (analisis Palaeographis) diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Teks:
siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo/
tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam yandripanam= bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam//

Bunyi terjemahan prasasti itu adalah:
"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."
d.  Prasasti Tugu






                                                                                                                                
Prasasti Tugu ditemukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
  1. Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
  2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.
  3. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

Isi

Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.

Teks:

pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//

Terjemahan:

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
e.  Prasasti Pasir Awi









Prasasti Pasir Awi terletak di lereng selatan bukit Pasir Awi (± 559m dpl) di kawasan hutan perbukitan Cipamingkis, desa Sukamakmur, kecamatan Sukamakmur (antara Kec. jonggol dan Kec. Citeureup)kabupaten Bogor.Prasasti Pasir Awi berpahatkan gambar dahan dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar sepasang telapak kaki,tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
f.   Prasasti Muara Cianten





                                                                                              
Prasasti Muara Cianten terletak di tepi(sungai) Cisadane dekat Muara Ciantenyang dahulu dikenal dengan sebutan prasasti Pasir Muara (Pasiran Muara) karena memang masuk ke wilayah kampung Pasirmuara. , diderah bogor Prasasti Muara Cianten dipahatkan pada batu besar dan alami dengan ukuran 2.70 x 1.40 x 140 m3. Peninggalan sejarah ini disebut prasasti karena memang ada goresan tetapi merupakan pahatan gambar sulur-suluran (pilin) atau ikal yang keluar dari umbi. tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.
g.  Prasasti Lebak




             Ditemukan di Lebak, di pinggir Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa, terdiri dari dua baris huruh yang merupakan satu sloka dalam metrum anustubh. Isi dari prasasti ini merupakan pujian kepada Purnawarman sebagai panji seluruh raja, keberanian, keagungan, dan keperwiraan sesungguhnya dari seluruh raja dunia.

Isi : Prasasti Cidanghiyang ditulis dalam aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh (bentuk aksaranya mirip dengan yang digoreskan pada Prasasti Tugu dari periode yang sama).

Teks

Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah

Terjemahan

"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja."
3. Kerajaan Kalingga
a. Prasasti Tuk Mas

 




                                                                                                         
 ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu
b.  Prasasti Sojomerto



Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu
c.  
Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Candi angin






d.  Candi Bubrah








Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
4. Kerajaan Sriwijaya
a.  Prasasti Kedukan Bukit




                Prasasti Kedudukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka tahun 628 Masehi. Prasasti ini berhuruf pallawa dan berbahasa Melayu kuno. Jumlahnya hanya 10 baris. Mengenai isi prasasti terdapat perbedaan antara para sejarawan yaitu mengenai adanya prasasti tersebut sebagai peringatan pendirian Sriwijaya atau sebagai peringatan kemenangan Sriwijaya terhadap Kerajaan Melayu.Tetapi isi lainnya yaitu menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.
b.  Prasasti Talang tuo





              Prasasti ini ditemukan di daerah Talang Tuo sebelah barat Kota Palembang. Prasasti Talang Tuo terdiri dari 14 baris dalam bahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa. Angka tahunnya adalah 606 Saka. Ini prasasti tersebut mengenai pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Jayanasa, untuk kemakmuran semua makhluk. Selain itu juga doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha.
c.   Prasasti Telaga Batu








            Prasasti Telaga Batu ditemukan di Palembang.  Prasasti ini tidak berangka tahun.Prasasti ini juga berbahasa Melayu kuno dan berhuruf Pallawa. Pada bagian atas prasasti ini, terdapat hiasan tujuh kepala ular cobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Hiasan ular cobra ini bersatu dengan permukaan batu datar dibagian belakang. Jumlah barisnya ada 28 dalam keadaan sangat aus, bahkan sebagian tidak dapat dibaca. Di bawah prasasti ini ada pancuran seperti halnya yoni. Dalam prasasti ini terdapat data yang memuat penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya.Isinya terutama tentang kutukan-kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.
d.  Prasasti Kota Kapur






                                                                                                                              
             Ditemukan di dekat Sungai Menduk, di Pulau Bangka. Jenis batu yang digunakan berbeda dengan jenis batu yang terdapat di Pualu Bangka. Karena hal itu, kemungkinan prasasti ni dibawa dari luar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu kuno dan huruf yang digunakan adalah huruf pallawa. Isi dari prasasti ini adalah kutukan-kutukan untuk mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk dan setia kepada raja akan celaka.  Permintaaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya.Selain itu ada keterangan penting yaitu tentang usaha Sriwijaya untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Angka tahunnya 608 Saka.
e.  Prasasti Karang Berahi







Ditemukan di tepi Sungai Merangin yang merupakan cabang Sungai Batang Hari di Jambi Hulu. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun teridentifikasi menggunakan aksara Pallawa dan bahasanya Melayu Kuna. Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.Yang menarik dari prasasti ini adalah baris 1-4 menggunakan dialek yang berbeda dengan baris selanjutnya.
f.   Candi Muara Takus.




                                                                                                          

Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa-dewinya.
     Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
g.  Arca Maitreya







5. Kerajaan Mataram  Kuno
a.  Prasasti Canggal




              Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi[1] yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.[1] Prasasti dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.

Isi

Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
b.  Prasasti Kalasan
 






            Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.
Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.147 di Museum Nasional, Jakarta.

c.   Prasasti Klura







Prasasti Kelurak merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di dekat Candi Lumbung Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah.Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta.
d.  Prasasti Kedu / Balitung






              Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu,[1] adalah prasasti berangka tahun 907 M[2] yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.  Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing). Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".
e.  Kompleks Candi Dieng (Candi Bima, Puntadewa,Arjuna , Semar), Candi Ngawen , Mendut, Pawon , Borobudur
Candi Borobudur               





           Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.

Candi Mendut



                                                                                                                           



Candi Ngawen
                                                                                                 
                                  




Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Menurut Soekmono keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah bangunan suci yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M, yaitu Venuvana (Sanskerta: 'Hutan Bambu').
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Pawon

Candi Pawon adalah nama sebuah candi, peninggalan Masa Klasik, yang terletak di Kabupaten Magelang. Letak Candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari Candi Borobudur ke arah timur dan 1150 m dari Candi Mendut ke arah barat
 



                                                           



Candi Arjuna







                         Candi Arjuna adalah sebuah bangunan candi Hindu yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia.Candi Arjuna merupakan salah satu bangunan candi di Kompleks Percandian Arjuna, Dieng. Di kompleks ini juga terdapat Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Arjuna terletak paling utara dari deretan percandian di kompleks tersebut. Sementara itu, Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling berhadapan.Seperti umumnya candi-candi di Dieng, masyarakat memberikan nama tokoh pewayangan Mahabarata sebagai nama candi.
6. Kerajaan Kediri
a.  Prasasti Padlegan



                         Peninggalan sejarahnya yang paling tua adalah Prasasti Pikatan atau Padlegan I, 11 Januari 1117, di mana ia menyebut dirinya sebagai Sang Juru Panjalu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Padlegan sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) karena kesetiaan penduduknya dalam membantu perjuangan raja.
b.  Prasasti Panumbangan







Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa
            c. Candi Penataran



 


 Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
d.Candi Gurah


     Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
e. Candi Tondowongso





     Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.
 Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
f. Arca Buddha Vajrasattva





     Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
g. Prasasti Kamulan

   




            Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194.
h. Prasasti Galunggung




   
            Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti inii terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti. 
i. Prasasti Jaring




     Prasasti Jaring yang bertanggal 19 November 1181. Isinya berupa pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud.vDalam prasasti tersebut diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, dan Macan Kuning.
j. Prasasti Talan

                       





     Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha.
     Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

7. Kerajaan Singasari
a. Candi Singosari





     Candi ini berlokasi di Kecamatan Singosari,Kabupaten Malang dan terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna. Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama serta Prasasti Gajah Mada yang bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat(meninggal) pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.
b. Candi Jago
   




 Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
c. Candi Sumberawan





     Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari, Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
d. Arca Dwarapala



     Arca ini berbentuk Monster dengan ukuran yang sangat besar. Menurut penjaga situs sejarah ini, arca Dwarapala merupakan pertanda masuk ke wilayah kotaraja, namun hingga saat ini tidak ditemukan secara pasti dimanan letak kotaraja Singhasari.
e. Prasasti Manjusri






Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago dan sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta
f.Prasasti Mula Malurung





     Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari.  Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
g. Prasastri Singosari



     Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
h. Candi Jawi





     Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.
i. Prasasti Wurare




     Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian bawahnya.
8.Kerajaan Majapahit
a.Candi Wringin Lawang
Berupa bangunan gapura agung dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter dengan arsitektur candi bentar atau “candi terbelah” yang sampai sekarang sering diaplikasikan dalam gaya arsitektur Bali. Fungsi utama bangunan ini diduga adalah sebagai pintu gerbang menuju kawasan utama di ibukota kerajaan Majapahit. Lokasinya sangat mudah dijangkau karena terlihat dari jalan utama Surabaya-Solo, tepatnya di daerah Brangkal, sebelum memasuki wilayah Trowulan.











b. Candi Brahu
 










      Berlokasi di kawasan Bejijong, Trowulan yang sekarang merupakan sentra pengrajin Kuningan dan Patung Batu. Candi Brahu adalah bangunan suci peribadatan yang dipergunakan untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Konon 4 raja pertama kerajaan Majapahit yang wafat diperabukan/dikremasi di kompleks bangunan candi Brahu.

c.Candi Gentong








           Candi ini masih dalam tahap restorasi, sehingga wujudnya masih berupa reruntuhan bangunan yang belum bisa dinikmati dengan nyaman. Lokasinya sendiri berdekatan dengan candi Brahu.

d.Candi Tikus
Adalah kolam pemandian ritual (petirtaan) yang berbentuk bangunan kolam bujur sangkar berukuran 22,5 meter x 22,5 meter dengan arsitektur teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini. Pada sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar bangunan kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Konon dulunya kolam ini dipergunakan sebagai tempat pemandian putri raja-raja Majapahit. Nama Candi Tikus sendiri diambil lantaran dulunya lokasi ini menjadi sarang tikus yang sering menjadi gangguan hama bagi sawah milik penduduk.











e.Candi Bajang Ratu
           Lokasi Candi Bajang Ratu berdekatan dengan Candi Tikus, berupa bangunan ramping nan anggun dengan arsitektur gapura paduraksa setinggi 16,5 meter. Pada bagian atap terdapat aksesoris bangunan yang menampilkan ukiran hiasan rumit/detail. Nama Bajang Ratu dalam bahasa jawa berarti “Raja Kecil” dikaitkan masyarakat dengan raja kedua Majapahit yaitu Jayanegara. Konon Jaya negara pernah jatuh saat kecil di tempat ini, sedang yang lain beranggapan karena Raja Jayanegara naik tahta dalam usia sangat muda. Sejarawan sendiri mengkaitkan bangunan Candi Bajang Ratu sebagai penghormatan bagi Raja Jayanegara yang wafat tahun 1328 M.
















1 komentar: